ASSALAMUALAIKUM

SEMOGA TULISAN SAYA BERMANFAAT ...TRIMS

Rabu, 04 November 2015

KORUPSI: MAAFKAN DAN HUKUM MATI


Sejak orde lama hingga kini, korupsi tidak pernah usai. Menggerogoti raga bangsa ini. Berbagai upaya telah dilakukan. Lembaga super body (KPK) dibentuk untuk memerangi korupsi. Begitu menakutkan dan membuat koruptor jengah. Demi melemahkan KPK, trik dan strategi berjamaah para koruptor semakin canggih. Terakhir, RUU KPK diusung. Sungguh memalukan kelakuan para dewan yang terhormat. Anak yang mereka ciptakan sendiri malah dikebiri. Demi menyelamatkan muka dan kehormatan. Inilah realita panggung politik. Yang bersih tersisih. Yang berlaku kotor berkuasa.
Tanpa disadari, perilaku korup telah melemahkan kekuatan bangsa. Jika tidak segera dapat diatasi, NKRI akan segera gulung tikar, cepat atau lambat. Pengurusan investasi yang begitu cepat tanpa birokrasi yang bertele-tele memang memangkas korupsi. Akan tetapi, bagaimana halnya jika kepala daerah yang menjabat, berkuasa karena money politics? Bisa ditebak hasil akhirnya. Rakyat semakin sengsara. Proyek-proyek yang seharusnya untuk kemakmuran bangsa ini, malah berbalik memakmurkan bangsa lain.
Revolusi mental yang diharapkan mampu membenahi korupsi nyatanya tak memiliki gigi. Seruan para alim ulama agar koruptor dihukum mati dan jenazahnya haram disalatkan, tidak digubris. Entah karena terkena penyakit tuli, pura-pura tidak mendengar atau tidak punya hati. Berita-berita para koruptor yang menghiasi media sambil tersenyum dan melambaikan tangan menjadi sebuah pembenaran. Merusak mental generasi muda yang hedonis dan materialistis. Mereka berpikir, sungguh enak menjadi koruptor. Dihukum ringan. Setelah bebas, tetap kaya. Hanya dengan sedikit beramal, dosa dan kesalahannya diampuni masyarakat.

Sejarah Hukum Korupsi di Nusantara
Tujuan diadakannya hukum adalah untuk terciptanya kedamaian dan kesejahteraan. Untuk itu, setiap bentuk pemerintahan pasti memiliki hukum yang bersifat mengikat dan memaksa. Begitu juga halnya kerajaan-kerajaan di nusantara.
Hukuman mati bagi pencuri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia. Bangsa yang baik adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Pada abad ke-7 Kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah, telah menetapkan hukuman mati sebagai sanksi bagi para pencuri pada saat pemerintahan Ratu Shima.
Pada abad ke-14 dalam piagam Bendasari (pada zaman Hayam Wuruk) dan piagam Trawulan (1358 Masehi) tercatat kitab undang-undang Kutara Menawa yang terdiri dari 275 pasal. Di salah satu pasal tertulis bahwa hukum mencuri (Astacorah), pasal 55, bahwa jika pencuri tertangkap dalam pencurian dikenakan pidana hukuman mati, anak istrinya miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-laki atau perempuan, hamba itu tidak diambil-alih oleh raja, tetapi dibebaskan dari segala hutangnya dari pencuri yang bersangkutan. Wajar saja jika Majapahit menjadi negara yang makmur dan sejahtera serta mampu menguasai seluruh Nusantara. Karena landasan hukumnya yang kuat dan tegas. Kata korupsi memang tidak dikenal pada masa itu. Yang mereka paham adalah mencuri.
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa telah berkenan menghantarkan rakyat Indonesia untuk merdeka. Ia juga telah berkenan menjadikan Kerajaan Majapahit besar dan menguasai nusantara pada 7 abad yang lalu. Begitu juga dengan Kerajaan Shima, telah Ia perkenankan namanya bergema hingga ke semenanjung arab. Secara logika, sejarah pasti berulang. Hanya tinggal copy-paste saja. Tidak perlu studi banding hukum ke negara lain dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Cukup buka buku sejarah atau berselancar di internet. Murah dan efisien.

Penerapan Solusi
Banyak yang paham bahwa hukuman mati adalah satu-satunya solusi hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Apalagi jika proses hukuman (ditembak mati atau digantung), disiarkan secara langsung di televisi-televisi nasional. Namun, ini urung dilakukan. Padahal, pasal dan undang-undangnya sudah ada. Hanya saja ada yang ganjil. UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi penjelasan Pasal 2 ayat 2 sepanjang frasa yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, memiliki arti yang lebih sempit dibandingkan dengan penjelasan pada Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999. Sehingga, para hakim yang memberikan sanksi, urung menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Negara saat ini tengah dalam keadaan bahaya akibat perilaku koruptor. Hal inilah yang penulis sedang ajukan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi. Menghapus penjelasan pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 dan memberlakukan kembali penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999, Yang dimaksud dalam keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku. Sehingga, dengan dasar ini, pemberatan sanksi untuk pelaku tipikor dapat dilakukan sebab negara dalam keadaan bahaya akibat korupsi yang semakin menggurita.
Berdasarkan pada pendirian MK bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, salah satunya adalah pada poin c yang berbunyi : Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak – tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka saya menganggap kerugian yang diderita adalah Rp 10 juta per bulan, akibat korupsi dan birokrasi di SKK Migas. Oleh karena, meskipun belum terbukti secara hukum, hal tersebut sangatlah potensial akan terjadi.
Bahwa hukum berlaku fleksibel sesuai dengan zamannya. Dengan begitu, ketika suatu masyarakat di suatu tempat telah memiliki kesadaran hukum yang tinggi, dimungkinkan untuk memberi sanksi yang ringan apabila terjadi pelanggaran. Sebab, hukuman dan sanksi yang ringan tidak terlalu berefek dalam masyarakat yang berkesadaran hukum tinggi. Namun jika hal ini diterapkan pada masyarakat yang berkesadaran hukum rendah, tidak akan membuat efek jera kepada masyarakat. Oleh karena itu, dengan dasar ketidakjeraan masyarakat terhadap sanksi tindak pidana korupsi, maka sanksi tindak pidana korupsi perlu diperberat dengan seberat-beratnya. Hingga menimbulkan efek jera dan menjaga keselamatan bangsa dan negara ini.
Mekanisme hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat langsung dilaksanakan begitu saja. Mengingat korupsi yang telah menggurita dari kalangan pejabat hingga masyarakat kelas bawah. Jika diibaratkan garis bilangan, kondisi negara saat ini berada pada garis bilangan negatif. Perlu kembali ke tiitik nol atau dengan kata lain, diperlukan kalibrasi hukum. Kalibrasi hukum inilah yang dimaksud oleh Marzuki Alie, mantan Ketua DPR, sebagai pemaafan koruptor. Di satu sisi terkesan membela dan melindungi koruptor. Namun di sisi lain, langkah ini justru merupakan cara yang paling ampuh untuk mengembalikan negara dalam kondisi aman (nol). Jika dibandingkan dengan pemberlakuan hukuman mati secara langsung, akan mungkin terjadi pelarian warga negara dan dana hasil korupsi secara besar-besaran ke luar negeri.
Adanya tenggang waktu yang berisi pemaafan koruptor dengan syarat: mengembalikan sisa uang korupsinya kepada negara. Bukan berarti jika diberikan tenggang waktu tidak akan terjadi hal yang demikian (pelarian warga dan dana secara besar-besaran ke luar negeri). Setidaknya, negara mengajak warganya untuk berlaku ksatria, mengakui kesalahannya. Dengan begitu akan meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Atas dasar persamaan rasa akan cinta tanah air, warga yang tidak bersalah hendaknya juga memaafkan dan tidak lagi mengungkit masa lalu. Sebab, bangsa ini adalah bangsa pemaaf. Dengan begitu, cita-cita negara yaitu masyarakat yang adil dan makmur, akan segera dapat diwujudkan.

Negatif vs Positif Legislator
Penambahan norma sangatlah tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, menyerahkan permohonan ini ke lembaga legislatif sangatlah berat dan amat tidak mungkin dalam pemikiran saya. Satu-satunya jalan adalah dengan “memaksa” Mahkamah Konstitusi untuk menjadi positive legislator.
Dasarnya adalah adagium ”Salus Populis Supreme Lex” (keselamatan rakyat berada di atas Undang-Undang Dasar). Hal ini juga selaras dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, Penjelasan Umum no 1, berbunyi: Jika suatu Negara terancam oleh bahaya atau kehidupannya berada dalam bahaya, maka perhatiannya harus dipusatkan pada kedudukannya sendiri, oleh karena bagaimanapun juga, Negara tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuannya, apabila Negara itu sendiri roboh kelak. Berhubung dengan itu, maka adakalanya terpaksa diadakan perobahan dalam susunan, pembagian dan sifat kekuasaan Negara serta dalam kedudukan Negara terhadap penduduk negeri, agar dapat bertindak terhadap bahaya yang dihadapinya dengan kekuasaan-kekuasaan yang istimewa. Ini berarti, bahwa kemungkinan untuk menyimpang dari hukum obyektif harus diadakan, karena perangkaian kaidah yang ada, menjadi amat rendah kedudukannya sebagai unsur dari keputusan untuk mengambil suatu tindakan terhadap unsur kenyataan-kenyataan yang mengancam Negara, bahkan harus diterima pula, bahwa ada kalanya tindakan pemerintah hanya untuk mengatasi keadaan bahaya itu semata- mata atas dasar kaidah darurat.
Visi Mahkamah Konstitusi adalah mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Salah satu misinya adalah membangun konstitusionalitas Indonesia dan sadar berkonstitusi. Disebabkan oleh korupsi yang menggurita, cita negara hukum menjadi rapuh dan kehidupan bangsa serta negara tidak lagi bermartabat.
Dengan demikian, amat mungkin dalam keadaan negara dalam kondisi bahaya akibat korupsi seperti saat ini, Mahkamah Konstitusi selaku Negative Legislator berperan juga sebagai Positive Legislator. Menyelamatkan kondisi bangsa dan negara. Seperti halnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 bahwa pilpres boleh menggunakan hak pilih dengan menunjukkan KTP atau Paspor. Begitu juga dengan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 tentang hak pilih mantan terpidana yang menyebabkan pemohon sebagai Warga Negara Indonesia, seumur hidup tidak memungkinkan dirinya menjadi anggota DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Mahkamah Konstitusi telah menangguhkan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikatnya suatu pasal Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945”, sampai pembentuk Undang-Undang memperbaiki rumusan atau menggantinya sebagaimana substansi putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa norma hukum tidak dapat dilepaskan dari moralitas yang mendasarinya, yaitu : keadilan. Terobosan hukum atau revolusi hukum diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum yaitu : hukum yang membuat bahagia.
Pada prinsipnya, dalam menjalankan kewenangannya, terutama menguji UU, MK tidak boleh hanya bersandarkan pada semangat legalitas formal peraturan-peraturan tertulis, melainkan harus mampu menggali dan menghadirkan nilai keadilan subtantif bagi masyarakat pencari keadilan (Mahfud MD, 2009). Keadilan subtantif merupakan wujud keadilan hakiki adalah keadilan yang dirasakan masyarakat sebagai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan substansial bukan hanya milik mayoritas, melainkan juga mencerminkan perlindungan minoritas (MKRI, 2009).

PUNGKI HARMOKO
Pemohon Uji Materiil di MK